Kamis, 13 Maret 2014

Filled Under:

tentang NAFKAH (ringkasan shohih muslim)

Bab: Memberi Nafkah, dimulai dari Diri Sendiri, Keluarga, dan Kerabat

(883) Jabir mengatakan: Pernah ada seseorang dari Bani ’Udroh ingin memerdekakan budaknya setelah ia meninggal, kemudian berita itu sampai kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, dan beliau menanyakannya: “Apa kamu memiliki harta selain itu?”. Ia menjawab: “Tidak”. (maka beliau menyuruh untuk menjualnya), lalu ia menawarkannya: “Siapa yang mau membeli budak ini?” akhirnya Nu’aim bin Abdulloh al-’Adawy membelinya seharga 800 dirham. lalu ia membawa hasil penjualan itu dan menyerahkannnya kepada Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-, kemudian beliau mengatakan: “Mulailah dari dirimu, hidupilah dirimu dengannya! Jika ada lebihnya, maka itu untuk keluargamu! Jika masih ada lebihnya lagi, maka itu untuk kerabatmu! Dan jika masih ada sisa lagi, maka seperti ini dan seperti ini! Beliau mengatakan: “(Jika masih sisa lagi), maka (berikanlah) kepada orang yang berada di depanmu, di kananmu dan di kirimu!”

Bab: Hak Nafkah Untuk Budak, dan Dosa Orang Yang Tidak Menunaikannya.

(884) Khoitsamah mengatakah: Ketika kami sedang duduk bersama ’Abdulloh bin ’Amr, datanglah asistennya menemuinya, Abdulloh bertanya: “Sudahkah kamu memberikan makan untuk si budak?”. Ia menjawab: “Belum”. Maka ia menyuruhnya: “Pergi dan berilah (makan untuknya)!” ia menambahi: (karena) Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- telah bersabda: “Cukuplah seseorang menuai dosa, karena tidak memberikan makanan kepada orang yang berada di bawah tangannya (baca: tanggung-jawabnya)!”.

Bab: Keutamaan Memberikan Nafkah Kepada Istri dan Keluarga

(885) Tsauban mengatakan: Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Harta yang paling utama adalah harta yang digunakan untuk menafkahi keluarga, kemudian harta yang diinfakkan untuk hewan tunggangan yang digunakan dalam perang di jalan Alloh, kemudian harta yang diinfakkan untuk saudara-saudaranya yang berjuang di jalan Alloh.” Abu Kilabah (salah satu perowi hadits ini) mengatakan: ” (Perhatikanlah) beliau mengawalinya dengan keluarga”, ia berkata lagi: “Dan adakah orang yang pahalanya melebihi seseorang yang memberikan nafkah kepada anak-anaknya yang masih kecil, sehingga mereka selamat dari hal-hal yang tidak halal, atau mungkin dengan harta tersebut Alloh memberikan manfaat bagi mereka, sehingga kebutuhan mereka tercukupi?!”

(886) Dari Abu Mas’ud Al-badry: Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Sesungguhnya seorang muslim yang menafkahi keluarga dengan niat ibadah, maka baginya pahala sedekah”.

Bab: Istri boleh menafkahi anaknya, menggunakan harta suaminya, dengan sewajarnya

(887) ’Aisyah mengatakan: “Hind (pernah) datang dan bertanya kepada Nabi -shollallohu alaihi wasallam-: “Wahai Rosululloh! Sungguh demi Alloh, dulunya tiada keluarga di muka bumi ini, yang lebih aku inginkan kehinaan padanya melebihi keluargamu, tapi sekarang, tiada keluarga di muka bumi ini, yang lebih aku inginkan kemuliaan padanya melebihi keluargamu! Maka Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menimpalinya: “Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, begitulah (semakin imanmu bertambah, semakin bertambah pula kecintaanmu itu)!” Kemudian Hind mengatakan: “Wahai Rosululloh! Sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang yang kikir, maka berdosakah, jika aku menafkahi anak-anakku, menggunakan hartanya dengan tanpa sepengetahuannya? Maka Nabi -shollallohu alaihi wasallam- menjawab: “Kamu boleh menafkahi mereka, asalkan masih dalam batas kewajaran”.

Bab: Tiada Hak Nafkah, Bagi Istri yang Sudah ditalak Tiga Kali

(888) Dari Fatimah binti Qois: Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- bersabda, tentang istri yang sudah ditalak tiga kali: “Tiada (keharusan) menginap (di rumah suaminya yang mentalak sebelum habis masa iddahnya) dan tiada pula (hak) nafkah baginya”.

(889) ’Aisyah mengatakan: “Alangkah baiknya jika Fatimah tidak mengatakan itu!” Qosim bin Muhammad (perowi hadits ini) mengatakan: Maksud ’Aisyah adalah perkataan Fatimah “Tiada (keharusan) menginap dan tiada pula (hak) nafkah baginya”.

(890) Abu Ishak mengisahkan: “Aku pernah bersama al-Aswad bin yazid duduk di Masjid A’dhom, bersama kami pula Sya’biy, (ketika itu) beliau menyampaikan hadits Fatimah binti Qois, bahwa sesungguhnya Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- tidak mewajibkan menginap dan hak nafkah baginya. (Mendengar ucapannya itu), al-Aswad langsung mengambil segenggam kerikil dan melemparnya, seraya mengatakan: “Celakalah, jika kamu sampaikan hal seperti ini! Umar telah mengatakan: kami tidak akan meninggalkan Alqur’an dan sabda Nabi kami -shollallohu alaihi wasallam-, hanya karena ucapan perempuan, yang kita tak tahu apakah ia masih ingat apa sudah lupa?! (yang benar adalah) ia berkewajiban menginap (di rumah mantan suaminya sampai selesai masa iddahnya) dan baginya hak nafkah, (karena) Alloh Azza wajalla berfirman (yang artinya): “Janganlah kamu keluarkan mereka yang ditalak dari rumahnya, dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan yang jelas-jelas kejinya”.

Semoga bermanfaat Jajakumullah 

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Copyright @ 2013 نادية الخلوية.